Sunday, February 14, 2010

Preparing for Death


"Suppose you learn today that you have only one more day to live; you'll die tomorrow. How will you spend your last day?"

This interview question was posed long before the age of mass media. The interviewer approached prominent scholars and people known for their virtuous lives with the idea that he would compile their answers in a book. Such a book would provide the readers with inspiration for the most important virtues.

But the most inspiring response came from the person who did not provide a wish list of virtuous deeds. He was the great muhaddith Abdur Rahman ibn abi Na'um and he replied: "There is nothing that I could change in my daily schedule learning that it is my last day. I already spend everyday in my life as if it is going to be my last."

Death is the most certain aspect of life. According to the latest statistics, 6178 people die in the world every hour. These are people of all ages, dying of all causes. Some of these deaths will make headlines. The great majority will die quietly. Yet everyone will enter his grave the same way. Alone. At the time appointed by God. Science and technology can neither prevent nor predict death. It is solely in the hands of the Creator.

"O mankind! If you are in doubt concerning the Resurrection, then lo! We have created you from dust, then from a drop of seed, then from a clot, then from a little lump of flesh shapely and shapeless, that We may make it clear for you. And We cause what We will to remain in the wombs for an appointed time, and afterward We bring you forth as infants, then give you growth that you attain full strength. And among you there is he who dies young, and among you there is he who is brought back to the most abject time of life, so that after knowledge he knows naught!"[Al-Haj 22:5]
We see it happening all the time. Yet it is amazing how we feel that it won't happen to us. At least not anytime soon. We bury our own friends and relatives but think that we'll live forever. Our attitudes about death defy all logic. In a way we recognize it and even plan for it. We take out life insurance policies. We may do estate planning. Businesses and governments have contingency plans to carry out their operations in case of sudden loss of their leaders. But this is recognition of death as an end point of this life. Where we fail is in recognizing it as the beginning of another life that will never end and where we'll reap what we sow here.

A central teaching of Islam is that it is our recognition of and preparation for that eternity that must separate those who are smart from those who are not. As the Prophet, Sall-Allahu alayhi wa sallam said: "Truly smart is the person who controlled his desires and prepared for life after death."

There is a moving story about Bahlool, who, in his innocence seems to be on the opposite end of the scale of worldly-smartness. Khalifa Haroon ur Rashid had given him access to his court probably because his naiveté was a source of entertainment to him. Once the Khalifa gave him a walking stick saying, "It is meant for the most foolish person in the world. If you find a person more deserving of it than yourself, pass it on." Several years later Haroon ur Rashid fell seriously ill and no medical treatment seemed to work. Bahlool visited him and inquired about his condition. The conversation went something like this:

Haroon: "No treatment is working. I see my final journey ahead of me."
Bahlool: "Where are you going?"
Haroon: "I am going to the Other World."
Bahlool: "How long will you stay there? When will you come back?"
Haroon: "No one ever comes back from that world."
Bahlool: "Then you must have made especial preparations for this journey. Did you send an advance group to take care of you once you arrive?
Haroon: "Bahlool, you have to go there alone. And no I did not make any preparations."
Bahlool: "Ameer-ul-Momineen! You used to send troops to make extensive preparations for you for even short trips of only a few days. Now you are going to a place where you'll live forever but you have made no preparations! I think I have found the person more deserving of the stick that you had given me some years ago."

This story speaks to all of us. We may not be kings but we do plan our trips of even a few days very carefully. How about preparing for the journey into eternity? How about making the concern for the Hereafter the cornerstone of our lives here?

Actually, that concern can change our lives here as well. This world is an abode of deception. Here we are not punished the moment we commit a sin. This fools us into thinking that we can get away with it. Remembering death is the antidote for that deception. A person who remembers that he will have to stand before his Creator and be accountable for his actions simply cannot defy God!

In the story of Pharaoh, we learn that when he saw death approaching he declared belief in the God of Moses. Before that he had been fooled by his apparent power. His repentance came too late but it did show how his arrogance and intransigence evaporated when faced with the certainty of death.

Insaf..


FIRMAN Allah yang bermaksud: “Sesungguhnya penerimaan taubat itu disanggup oleh Allah hanya bagi orang yang melakukan kejahatan disebabkan kejahilan, kemudian mereka segera bertaubat, maka dengan adanya dua sebab itu mereka diterima Allah taubatnya; dan ingatlah Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana. Dan tidak ada gunanya taubat itu kepada orang yang selalu melakukan kejahatan, hingga apabila salah seorang daripada mereka hampir mati, berkatalah ia: Sesungguhnya aku bertaubat sekarang ini, sedang taubatnya itu sudah terlambat, dan demikian juga halnya orang yang mati sedang mereka tetap kafir. Orang yang demikian, Kami sediakan bagi mereka azab seksa yang tidak terperi sakitnya.” (Surah al-Nisa’, ayat 17-18)

Tuntutan Agama

Taubat adalah tuntutan agama dan ulama mengatakan, bertaubat wajib bagi setiap orang Islam. Banyak ayat mengenai taubat dalam al-Quran sama ada diturunkan di Makkah atau Madinah

Surah al-Nisa’ ini adalah seruan kepada taubat. Ayat pertama menyebutkan orang yang melakukan dosa lalu ia bertaubat, maka Allah akan mengampunkannya. Allah juga menyeru segera melakukan taubat dan jangan hampir saat kematian baru hendak bertaubat.

Ketika itu, permohonan taubatnya tidak lagi diterima. Mufasirin berbeza pandangan dalam penerimaan taubat seorang hamba. Sebahagian mengatakan wajib bagi Allah menerima taubat seorang hamba.

Pandangan ahli sunnah mengatakan, apabila seseorang hamba itu bertaubat maka Allah berhak untuk menerima atau menolaknya dan tidak wajib bagi Allah menerima taubat seseorang. Namun, Allah berjanji akan menerima taubat hamba-Nya.

Allah berfirman yang bermaksud: “Dan Dialah Tuhan yang menerima taubat hamba-Nya yang bertaubat serta memaafkan kejahatan mereka lakukan; dan Ia mengetahui akan apa yang kamu semua kerjakan.” (Surah al-syura, ayat 25)

Taubat sebenarnya

Mufasirin menyebutkan Allah berjanji akan mengampunkan orang yang bertaubat dengan syarat ia mencukupi empat perkara, iaitu insaf dengan hati, meninggalkan perbuatan maksiat, berazam tidak mengulang perbuatan itu dan dilakukan dengan penuh keredaan kepada Allah.

Pentafsir juga berbeza pandangan dalam menafsirkan ‘melakukan kejahatan dengan kejahilan.’ Pendapat pertama mengatakan setiap maksiat itu adalah kejahilan meliputi segala bentuk kekufuran dan maksiat.

Mengikut Qatadah, setiap perbuatan maksiat adalah kejahilan. Firman Allah yang bermaksud: “Dan ingatlah ketika Nabi Musa berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh supaya kamu menyembelih seekor lembu betina. Mereka berkata: Adakah engkau hendak menjadikan kami ini permainan? Nabi Musa menjawab: Aku berlindung kepada Allah daripada menjadi salah seorang dari golongan yang jahil iaitu yang melakukan sesuatu yang tidak patut dan kejahatan.” (Surah al-Baqarah, ayat 67)

Pendapat kedua, seseorang melakukan maksiat dan mengetahui perkara itu adalah maksiat tetapi ia tidak mengetahui kadar hukuman maksiat berkenaan. Pendapat ketiga, seseorang yang melakukan maksiat dengan ia tidak mengetahui perkara itu adalah maksiat.

Taubat Ketika Hampir Mati

Ayat ini juga mengatakan bertaubat ketika hampir mati, tiada faedah dan sudah terlambat. Allah tidak menerima taubat sedemikian seperti Firaun yang tenggelam ketika mengejar Nabi Musa ingin bertaubat pada saat kematiannya.

Daripada Ibn Umar bahawa Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: “Allah akan menerima taubat seseorang hambanya selagi nyawanya tidak di halkum.” (Hadis riwayat al-Turmizi, hadis Hasan Gharib).

Menurut al-Syarawi, Allah akan menerima taubat seseorang selagi nyawanya tidak di halkum dan menjadi kewajipan seorang Muslim supaya segera bertaubat.

Allah juga menyebutkan orang Islam yang tidak sempat bertaubat akan menerima azab pedih berbeza dengan kematian bagi orang kafir yang akan menerima seksaan buat selama-lamanya. Orang Islam melakukan maksiat tanpa bertaubat akan menerima azab setimpal perbuatannya.

Menurut Sayyid Qutb, taubat selayaknya bagi Allah menerimanya adalah taubat yang lahir dari hati penuh keinsafan seolah-olah ia baru lahir semula dan menjadi insan yang lain.

Allah menyeru setiap Muslim segera bertaubat dengan firman yang bermaksud: “Wahai orang beriman! Bertaubatlah kamu kepada Allah dengan taubat nasuha, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapuskan kesalahan kamu dan memasukkan kamu ke dalam syurga yang mengalir di bawahnya beberapa sungai, pada hari Allah tidak akan menghinakan Nabi dan orang beriman bersama-sama dengannya.” (Surah al-Tahrim, ayat 8)

Ayat ini menjelaskan Allah sentiasa menyeru orang mukmin bertaubat dan perintah Allah dalam al-Quran menunjukkan wajib. Matlamat taubat adalah supaya diampunkan segala dosa terdahulu dan akhirnya dimasukkan ke dalam syurga.

Sunday, January 31, 2010

Sabar

Beberapa kali sudah kita berkata pada diri..sabar..sabar..namun apakah daya, setiap yang berlaku menyebabkan kita tidak dapat bersabar, atau sukar buat kita untuk bersabar..

…Dan para malaikat masuk kepada tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan); keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar-Ra’d [13]:23-24)

Sabar termasuk akhlak yang paling utama yang banyak mendapat perhatian Al-Qur’an dalam surat-suratnya. Imam al-Ghazali berkata, “Allah swt menyebutkan sabar di dalam al-Qur’an lebih dari 70 tempat.”
Ibnul Qoyyim mengutip perkataan Imam Ahmad: “Sabar di dalam al-Qur’an terdapat di sekitar 90 tempat.”
Abu Thalib al-Makky mengutip sebagian perkataan sebagian ulama: “Adakah yang lebih utama daripada sabar, Allah telah menyebutkannya di dalam kitab-Nya lebih dari 90 tempat. Kami tidak mengetahui sesuatu yang disebutkan Allah sebanyak ini kecuali sabar.”


Sabar menurut bahasa berarti menahan dan mengekang. Di antaranya disebutkan pada QS.Al-Kahfi [18]: 28 “Dan tahanlah dirimu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan di senja hari dengan mengharap keridhaanNya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka.”
Kebalikan sabar adalah jaza’u (sedih dan keluh kesah), sebagaimana di dalam firman Allah QS. Ibrahim [14]: 21, “…sama saja bagi kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri.”
Macam-macam Sabar Dalam al-Qur’an . Aspek kesabaran sangat luas, lebih luas dari apa yang selama ini dipahami oleh orang mengenai kata sabar. Imam al-Ghazali berkata, “Bahawa sabar itu ada dua; pertama bersifat badani (fisik), seperti menanggung beban dengan badan, berupa pukulan yang berat atau sakit yang kronis. Yang kedua adalah al-shabru al-Nafsi (kesabaran moral) dari syahwat-syahwat naluri dan tuntutan-tuntutan hawa nafsu. Bentuk kesabaran ini (non fisik) beraneka macam;
Jika berbentuk sabar (menahan) dari syahwat perut dan kemaluan disebut iffah
Jika di dalam musibah, secara singkat disebut sabar, kebalikannya adalah keluh kesah.
Jika sabar di dalam kondisi serba berkucukupan disebut mengendalikan nafsu, kebalikannya adalah kondisi yang disebut sombong (al-bathr)
Jika sabar di dalam peperangan dan pertempuran disebut syaja’ah (berani), kebalikannya adalah al-jubnu (pengecut)
Jika sabar di dalam mengekang kemarahan disebut lemah lembut (al-hilmu), kebalikannya adalah tadzammur (emosional)
Jika sabar dalam menyimpan perkataan disebut katum (penyimpan rahasia)
Jika sabar dari kelebihan disebut zuhud, kebalikannya adalah al-hirshu (serakah)
Kebanyakan akhlak keimanan masuk ke dalam sabar, ketika pada suatu hari Rasulullah saw ditanya tentang iman, beliau menjawab: Iman aadalah sabar. Sebab kesabaran merupakan pelaksanaan keimanan yang paling banyak dan paling penting. “Dan orang-orang yang sabar dalam musibah, penderitaan dan dalam peperangan mereka itulah orang-orang yang benar imannya, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Baqarah [2]: 177)
Dari itu kita dapat memahami mengapa al-Qur’an menjadikan masalah sabar sebagai kebahagiaan di akhirat, tiket masuk ke surga dan sarana untuk mendapatkan sambutan para malaikat. Dalam surat Al-Insan [72]: 12 “Dan Dia memberi balasan kepada mereka atas kesabaran mereka dengan surga dan (pakaian) sutera”. Dalam surat Ar-Ra’d [13]:23-24 “…Dan para malaikat masuk kepada tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan); keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”

Sabar, Suatu Kekhasan Manusia
Sabar adalah kekhasan manusia, sesuatu yang tidak terdapat di dalam binatang sebagai faktor kekurangannya, dan di dalam malaikat sebagai faktor kesempurnaannya.
Binatang telah dikuasai penuh oleh syahwat. Karena itu, satu-satunya pembangkit gerak dan diamnya hanyalah syahwat. Juga tidak memiliki “kekuatan” untuk melawan syahwat dan menolak tuntutannya, sehingga kekuatan menolak tersebut bisa disebut sabar.
Sebaliknya, malaikat dibersihkan dari syahwat sehingga selalu cenderung kepada kesucian ilahi dan mendekat kepada-Nya. Karena itu tidak memerlukan “kekuatan” yang berfungsi melawan setiap kecenderungan kepada arah yang tidak sesuai dengan kesucian tersebut.
Tetapi manusia adalah makhluk yang dicipta dalam suatu proses perkembangan; merupakan makhluk yang berakal, mukallaf (dibebani) dan diberi cobaan, maka sabar adalah “kekuatan” yang diperlukan untuk melawan “kekuatan” yang lainnya. Sehingga terjadilah “pertempuran” antara yang baik dengan yang buruk. Yang baik dapat juga disebut dorongan keagamaan dan yang buruk disebut dorongan syahwat.

Pentingnya Kesabaran
Agama tidak akan tegak, dan dunia tidak akan bangkit kecuali dengan sabar. Sabar adalah kebutuhan duniawi keagamaan. Tidak akan tercapai kemenangan di dunia dan kebahagaiaan di akhirat kecuali dengan sabar.
Al-Qur’an telah mengisyaratkan pentingnya kesabaran ini. Ketika mengyinggung masalah penciptaan manusia dan cobaan penderitaan yang akan dihadapinya. Dalam surat Al-Insaan [76]: 2 “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang tercampur yang Kami hendak mengujinya )dengan perintah dan larangan)”.

Pentingnya Kesabaran Bagi Orang Beriman.
Sudah menjadi sunnatulah bahwa kaum muslimin harus berhadapan dengan para musuhnya yang jahat yang membuat makar dan tipu daya. Seperti Allah menciptakan Iblis untuk Adam; Namrud untuk Ibrahim; Fir’aun untuk Musa dan Abu Jahal untuk Muhammad saw.
Dalam Surat al-Ankabut [29]]: 1-3 “Ali Laam Miim. Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan; kami telah beriman, padahal mereka belum diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta

Apabila roh keluar dari jasad..

Ada satu riwayat drp Abi Qalabah mengenai mimpi beliau yang melihatkubur pecah. Lalu mayat-mayat itu keluar dari duduk di tepi kubur masing- masing. Bagaimanapun tidak seorang pun ada tanda-tanda memperolehi nur di muka mereka. Dalam mimpi itu, Abi Qalabah dapat melihat jirannya juga dalam keadaan yang sama. Lalu dia bertanya kepada mayat jirannya
mengenai ketiadaan nur itu. Maka mayat itu menjawab: "Sesungguhnya bagi mereka yang memperolehi nur adalah kerana petunjuk drpd anak-anak dan teman-teman. Sebaliknya aku mempunyai anak-anak yang tidak soleh dan tidak pernah mendoakan aku".

Setelah mendengar jawapan mayat itu, Abi Qalabah pun terjaga. Pada malam itu juga dia memanggil anak jirannya dan menceritakan apa yang dilihatnya dalam mimpi mengenai bapa mereka. Mendengar keadaan itu, anak-anak jiran tu berjanji di hadapan Abi Qalabah akan mendoa dan bersedekah untuk bapanya. Seterusnya tidak lama selepas itu, Abi Qalabah sekali lagi bermimpi melihat jirannya. Bagaimanapun kali ini jirannya sudah ada nur dimukanya
dan kelihatan lebih terang daripada matahari.

Baginda Rasullullah S.A.W berkata: Apabila telah sampai ajal seseorang itu maka akan masuklah satu kumpulan malaikat ke dalam lubang-lubang kecil dalam badan dan kemudian mereka
menarik rohnya melalui kedua-dua telapak kakinya sehingga sampai kelutut. Setelah itu datang pula sekumpulan malaikat yang lain masuk menarik roh dari lutut hingga sampai ke perut dan kemudiannya mereka keluar. Datang lagi satu kumpulan malaikat yang lain masuk dan menarik
rohnya dari perut hingga sampai ke dada dan kemudiannya mereka keluar.Dan akhir sekali datang lagi satu kumpulan malaikat masuk dan menarik roh dari dadanya hingga sampai ke kerongkong dan itulah yang dikatakan saat nazak orang itu."

Monday, January 25, 2010

Signs of the Appearance of the Dajjal


A lengthy hadith narrated by Ibn Majah, Ibn Khuzaimah, and ad-Dhiyaa’, reports that the Prophet of Allah, sallallahu `alaihi wa sallam, said,

“There will be three hard years before the Dajjal (appears). During them, people will be stricken by a great famine. In the first year, Allah will command the sky to withhold a third of its rain, and the earth to withhold a third a third of its produce. In the second year, Allah will command the sky to withhold two thirds of its rain, and the earth to withhold two thirds of its produce. In the third year, Allah will command the sky to withhold all of its rain, and it will not rain a single drop of rain. He will command the earth to withhold all of its produce, and no plant will grow. All hoofed animals will perish, except that which Allah wills.” He (sallallahu `alaihi wa sallam) was asked, ‘What sustains people during that time?’ He said, “Tahlil, takbir and tahmid (Saying, la ilaha ill Allah, Allahu Akbar and al-hamdulillah). This will sustain them just as food does.” [Sahih Al-Jami` as-Saghir, no. 7875]

Abdullah bin Umar narrated that the Messenger of Allah sallallahu `alaihi wa sallam said,

“The fitnah of Al-Ahlas (continuous calamity) is mass desertion and war. Then, the fitnah of As-Sarraa [meaning ‘the rich’, when some reach people use their money to hire others to fight for them] will start from under the feet of a man who claims that he is of me (of my descendants). However, he is not of me, for my loyal friends are the ones who have taqwa. Afterwards, people will unite around a man whose reign is unstable. Then, the fitnah of Ad-Duhaymaa [it is called ‘dark and black fitnah’ because of its enormity] (will start) and will not leave any member of this nation without severely touching him. When it is thought that its time has come to an end, it will be lengthened. Meanwhile (during this fitnah), a man will wake up as a believer and will meet the night as a disbeliever, until people divide into two camps: A camp of belief that contains no hypocrisy, and a camp of hypocrisy that contains no belief. If this happens, then await the Dajjal on that day or the next.” [Ahmad, Abu Dawood and al-Hakim, Mishkatul-Masabih, vol. 4, no. 5403]

There are other signs to the imminent coming of the Dajjal. Mu`ath narrated that the Messenger of Allah, sallallahu `alaihi wa sallam, said,

“The flourishing of Jerusalem will mark the desertion of Yathrib (Madinah). The desertion of Yathrib will mark the start of Al-Malhamah [the great war that will start between ar-Rum and the Muslim forces before Muslims conquer Constantinople for the second time]. The start of Al-Malhamah will mark the conquering of Constantinople. The conquering of Constantionple will mark the appearance of Dajjal.” [Sahih Al-Jami` as-Saghir, no. 4096]

The flourishing of Jerusalem will happen by the hands of Muslims, by the will of Allah, after it will be retrieved from the Jews.

The Holy Land will be the seat of the Caliphate because the Messenger of Allah sallallahu `alaihi wa sallam said to Ibn Hawalah,

“O Ibn Hawalah! If you live to see the seat of the Caliphate of the Holy Land, then earthquakes, disasters and great calamities are imminent. Then, the Hour will be closer to people than this hand of mine to your head!” [Al-Hakim in Al-Mustadrak, vol. 4, p. 420, and he says, “Sahih”]

Then, Muslims will migrate to Ash-Sham to join the Jihad against the enemies of Allah from among the Jews and Christians. People of Madinah will desert it, not because they dislike it, but for the purpose of joining the Jihad for the sake of Allah. Then, it will be totally uninhibited, wild animals and beasts will roam through it, and it will stay deserted until the Hour begins.

Abu Hurairah narrated that the Messenger of Allah, sallallahu `alaihi wa sallam, said,

“Madinah will be deserted while in its prime! Then, it will be inhabited by birds and beasts.” [Al-Hakim in Al-Mustadrak, vol. 4, p. 436]

“They (Muslims) will leave Madinah while in its prime. Only wild beasts and birds will roam it. The last persons to be gathered (for the beginning of the Last Day) will be two shepherds from (the tribe) of Muzainah heading towards Madinah. They will be herding their sheep, and (when they reach it) they will find it deserted. When they reach Thaniyyat Al-Wadaa` they will collapse on their foreheads (because the Hour will have started then).” [Ahmad, Al-Bukhari and Muslim, As-Silsilah As-Sahihah, vol. 2, no. 683]

Also, Abdullah bin `Amr said, “There will be a time among people when every believer will migrate to Ash-Sham.” [Al-Hakim in al-Mustadrak, vol. 4, p. 457, and he says “Sahih according to the conditions of Bukhari and Muslim” Adh-Dhahabee agrees.]

The Destruction of Al-Masih Ad-Dajjal

As was narrated in the Hadith by An-Nawwas bin Sam`an, the Dajjal will be killed at the hand of Jesus son of Mary.

The Dajjal’s death will occur after the angels turn him towards Ash-Sham away from the outskirts of Madinah. He will perish in Ash-Sham near the eastern door of Lud in Palestine, may Allah return it to the Muslim.

Before we start mentioning the second coming of Jesus son of Mary, we will mention the story of Al-Mahdy, Muhammad bin Abdillah.

Al-Mahdi will appear just before the coming of Jesus, alaihis salam. He will lead the Muslim nation with justice and kindness and establish Allah’s rule. A righteous Caliphate will reappear after the earth has experienced its share of injustice and tyranny. Jesus son of Mary will pray behind him. Among Al-Mahdi’s characteristics is that he will spend money on his subjects without counting it, along with many of his other righteous deeds that were mentioned in several correct hadiths.
The following are signs of the forthcoming of Dajjal...

* People will stop offering the prayers
* Dishonesty will be the way of life
* Falsehood will become a virtue
* People will mortgage their faith for worldly gains
* Usury and bribery will become legitimate
* Imbeciles would rule over the wise
* innocents would be burned by smokeless fire
* Pride will be taken on acts of oppression
* The rulers will be corrupt
* The scholars will be hypocrites
* Adultery will be rampant
* Women will dress like men and men will dress like women
* The liars and treacherous will be respected
* There will be acute famine at the time

Sunday, January 24, 2010

wasiat ke-2 al-Banna


"Bacalah al-Quran, tatapilah buku-buku atau pergilah mendengar perkara-perkara yang baik atau amalkanlah zikrullah dan janganlah membuang masa walau sedikit pun dengan hal-hal yang tidak berfaedah." Wasiat kedua Imam Hasan al-Banna.

Program tarbiyyah kedua yang terjelma melalui wasiat Hasan al-Banna ialah perihal mempertingkat daya faham umat Islam melalui bacaan al-Quran, membaca buku-buku, mendengar ceramah agama, mengamalkan zikrullah.

Pendek kata, Imam Hasan al-Banna tidak mahu anggota ikhwan atau umat Islam itu akan terbuang waktunya walau sedikit pun dengan perkara-perkara yang tidak berfaedah.

Di dalam surah al-Asr, disebutkan mengenai kerugian yang dikaitkan dengan masa. Pada asalnya, semua manusia itu hidup sentiasa dalam kerugian.

[1] Demi Masa!; [2] Sesungguhnya manusia itu di dalam kerugian; [3] Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh, dan mereka pula berpesan-pesan dengan kebenaran serta berpesan-pesan dengan sabar.

Tetapi, antara mereka itu, ada beberapa golongan yang semakin berkurangan kerugiannya dengan sebab amalan dan kepercayaan mereka itu.

Pertamanya, mereka yang beriman, yakin dan percaya kepada Allah, kitab-kitabNya, nabi dan malaikat serta kewujudan akhirat. Sesiapa yang termasuk dalam golongan ini, maka mereka telah terlepas daripada belenggu kerugian yang pertama.

Kedua, mereka yang beramal soleh, membuat kebajikan, membantu meringankan beban, membuang kesusahan orang-orang yang memerlukan bantuan dan sebagainya.

Ketiga, mereka yang saling berwasiat atau berdakwah atas nama kebenaran.

Keempat, mereka yang saling berwasiat atau berdakwah dengan penuh kesabaran.

Tetapi, awal kepada segala puncak kesedaran ini bermula apabila seseorang Muslim itu mula memahami makna yang tersembunyi dan terselit di dalam al-Quran.

Sesudah al-Quran menjadi kunci kepada pintu kesedaran seseorang Muslim itu, Hasan al-Banna berpesan kepada kita supaya kerap membaca buku-buku. Sudah tentu, buku ilmiah ini akan menuntut pergerakan pemikiran kita ke arah laluan kebenaran.

Dengan pengetahuan, seseorang Muslim tidak akan tertipu. Buku-buku ilmiah boleh juga kita dapati daripada ulasan-ulasan buku di majalah, akhbar. Ringkasnya, hubungan orang Islam dengan buku itu wajib ada.

Sekiranya, tiada buku dijumpai, maka al-Banna menyeru kita pergi mencari guru, ustaz yang menyampaikan ilmu, ceramah agama tempat terbitnya segala buah fikiran baru.

Selanjutnya sumber-sumber ilmu lain selepas itu ialah usrah atau perkumpulan kecil yang selalu membanyakkan ucapan-ucapan yang baik didengar. Diskusi perkumpulan kecil ini juga perlulah dihadiri oleh seseorang Muslim yang beriltizam dengan agamanya.

Dan, seterusnya Imam Hasan al-Banna berpesan kepada kita agar mengamalkan zikir dan beriltizam menghabiskan ratib-ratib yang kita mahu amalkan. Paling mudah seseorang itu boleh mengamalkan wirid al-Mathurat, Wazifah as-Sughra jika tiada kesempatan.

Dengan amalan wirid wazifah al-Kubra dan as-Sughra inilah seseorang itu akhirnya akan menggunakan masanya untuk membuat hal-hal kebaikan secara tak langsung.

Lalu, dengan cara membaca al-Quran, memperuntukkan masa untuk membaca buku atau berzikir, maka sepenuh kehidupannya terisi dengan waktu-waktu yang indah serta masa yang berfaedah. Lalu, terelaklah beliau menggunakan waktunya ke arah keburukan.

Kesimpulan
Maka, hendaklah setiap umat Islam itu membaca al-Quran. Tidak cuma membaca. Yang paling penting ialah mereka mesti cuba memerhati pesanan Tuhan di dalamnya.

Jangan dibiarkan hati mereka selalu kering dan akhirnya mati. Basahkan dengan sejumlah wirid, ratib-ratib dan zikrullah yang biasa diamalkannya. Hati yang sentiasa ada pertalian dengan Tuhan akan sentiasa bersimbah ilmu, ilham dan pengetahuan yang baru.

Carilah ilmu walaupun sedikit. Masa yang terluang dengan tujuan yang tidak munasabah hendaklah kita sifarkan sama sekali. Hidup seorang Muslim itu sentiasa penuh dan padat dengan hal-hal yang berguna kepada diri dan masyarakat sekitarnya.

Al-Quran itu adalah induk samudera ilmu. Akar pengetahuan dan ranting hidayah kepada kita semua. Bacalah al-Quran, kelak ia menjadi pendinding kepada segala permasalahan dan ia akan berbicara kepada kita.

Sampai kepada suatu saat, al-Quran akan menjadi suara yang akan berbicara kepada jiwa kita dengan syarat kita memahaminya betul-betul mengikut nahu bahasa Arab.

Lazimkanlah diri membaca, menghafal dan yang paling utama, menghayati, merenungi setiap inci perkataannya dan lihat arahan Tuhan. Lazimi lidah kita dengan berzikir atau hati kita mesti ikut berzikir. Ketenteraman dan kedamaian akan menyelimuti kita.

Saturday, January 23, 2010

How many hours..

Certainly not referring to MLTR title song, but a little bit of tazkirah on the interesting subject..:)

imam Malik Ibn Anas saw the Death Angel in his sleep, and the Imam asked him: " How much left for me to live?". The Angel pointed to his five fingers. Then the Imam asked him: " Does that mean 5 years, or 5 months, or 5 days ?". Before the Imam had a chance to get an answer back, he woke up.

The Imam went to someone who would interpret dreams. That man told him: " Imam Malik, when the Angel pointed to his five fingers he didn't mean 5 years or months or days, but the Angel meant that your question ' how much left for me to live' is among 5 matters that only Allah (SWT) knows about, and he recited the following verse from the Qur,an:
"" Verily, with ALLAH alone is the knowledge of the Hour. And HE sends down the rain, and HE knows what is in the wombs. And no soul knows what it will earn tomorrow, and no soul knows in what land it will die. Surely, ALLAH is All-Knowing, All-Aware. "" 31:34

When Caliph Haroon Al-Rashid got very ill, illness that caused his death, he told his staff to go a head and dig his grave so he can see it before he dies. After the grave was prepared, he asked to be carried to the grave . Upon arrival, the Caliph Haroon looked down into the grave and then looked up toward the sky and said: " O' whom (Allah) his rule never ends, have mercy on whom (Haroon) his rule has ended.

One day the Prophet (pbuh) visited the Cemetery along with some of his followers, and he said to them: " I long for my beloved ones?". His followers said: " Aren't we your beloved ones O' messenger of Allah ". The Prophet (pbuh) said: " you are my companions ". Then they say: " who are your beloved ones?". The Prophet said: " People come after you believed in me without seeing me ". they asked: " How would you know them on Judgment day even though you haven't seen them O' messenger of Allah?". The Prophet said: " My followers are gathered ' Ghurr'an Muhajjalin ' ".

Christianity - Views on Death
For Christians whose lives are guided by the Bible, the reality of death is acknowledged as part of the current human condition, affected by sin (Genesis 2:17; Romans 5; Hebrews 9:27). There is "a time to be born, and a time to die" (Ecclesiastes 3:2). Although eternal life is a gift that is granted to all who accept salvation through Jesus Christ, faithful Christians await the second coming of Jesus for complete realization of their immortality (John 3:36; Romans 6:23; 1 Corinthians 15:51-54). While waiting for Jesus to come again, Christians may be called upon to care for the dying and to face personally their own death.


Islam - Views on Death

when death approaches, the close family and friends try to support and comfort the dying person through supplication as well as remembrance of Allah and His will. The attendance is to help the dying person to iterate his commitment to unity of God.

Upon death, the eye lids are to be closed, the body should be covered, and preparation for burial takes place as soon as possible. The whole body is washed and wrapped in a shroud. Muslims gather and a prayer is performed for the dead. The body is to buried soon after the prayer. The wrapped body is to be laid directly at the bottom of the dug grave. The body is to be laid on its right side facing the direction of Makkah. A ceiling is attached to the grave and then covered with dirt. The grave is to be marked by raising its top level of dirt above surrounding grounds. A stone may be used to mark its location, but no writings are allowed. Buildings or other forms of structures are not allowed on top of the grave.

The family of the dead has a responsibility to fulfill any debts he had as soon as possible. They have the commitment to maintain contacts and courteous relationships with close relatives and close friends.Visiting the graves is recommended for the living to remember death and the day of judgment.


Hinduism
believes in the rebirth and reincarnation of souls. Death is therefore not a great calamity, not an end of all, but a natural process in the existence of soul as a separate entity, by which it reassembles its resources, adjusts its course and returns again to the earth to continue its journey. In Hinduism death is a temporary cessation of physical activity, a necessary means of recycling the resources and energy and an opportunity for the soul to review its programs and policies. When a person dies, his soul along with some residual consciousness leaves the body through an opening in the head and goes to another world and returns again after spending some time there. What happens after the soul leaves the body and before it reincarnates again is a great mystery .

What happens to a soul after the death of a mortal being on earth depends upon many factors, some of which are, his previous deeds, his state of mind at the time of death,the time his death, the activities of his children, that is whether they performed the funeral rites in the prescribed manner and satisfied the scriptural injunctions.

Hinduism believes in the existence of not one hell and one heaven but in the existence of many sun filled worlds and many dark and demonic worlds. Vaikunth is the world of Vishnu, Kailash is the world of Siva and Brahmalok is the world of Brahman. Indralok is the standard heaven to which those who please the gods through their activities upon the earth go. The standard hell is Yamalok, which is also ruled by a god called Lord Yama, who is also the ruler of the southern quarter.In the ultimate sense, the purpose of these worlds is neither to punish or reward the souls, but to remind them of the true purpose of their existence.

After death, Hindus are not buried, but cremated. The idea is that the human personality is made up of five elements of which four belong to the body and come from this world, namely fire, earth, water and air while the fifth the ether (fine matter) belongs to the domain of the subtle body and comes from the higher worlds. By cremating the body, the elements are rightfully returned to their respective spheres, while the subtle body along with soul returns to the worlds beyond for the continuation of its afterlife.


Buddha
From its inception, Buddhism has stressed the importance of death, since awareness of death is what prompted the Buddha to perceive the ultimate futility of worldly concerns and pleasures. Realizing that death is inevitable for a person who is caught up in worldly pleasures and attitudes, he resolved to renounce the world and devote himself to finding a solution to this most basic of existential dilemmas.

A Buddhist looks at death as a breaking apart of the material of which we are composed. However Buddhism does not look at death as a continuation of the soul but as an awakening. Dying and being reborn has been compared by some Buddhist as a candle flame. When the flame of one lit candle is touched to the wick of an unlighted candle, the light passes from one candle to another. The actual flame of the first candle does not pass over but is responsible for lighting the second candle. Death is merely a passage to rebirth in another realm such as the human world, a pure land or the flowering of the ultimate nature of the mind.